Beranda | Artikel
Larangan Banyak Berkisah dan Meningalkan Sunnah
Rabu, 11 November 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam

Larangan Banyak Berkisah dan Meningalkan Sunnah merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah كتاب صحيح الترغيب والترهيب (kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib) yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Rabu, 25 Rabiul Awal 1442 H / 11 November 2020 M.

Download kajian sebelumnya: Hadits Motivasi Sedekah

Kajian Tentang Larangan Banyak Berkisah dan Meningalkan Sunnah

Hadits ke-59

Kita masuk hadits ke-59, dari Al-‘Irbadh bin Sariyah -semoga Allah meridhainya-, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لقد تركتكم على مثل البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها إلا هالك

“Sungguh aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu seperti putih bersih, malamnya seperti siangnya, dan tidak ada yang menyimpang darinya kecuali orang yang binasa.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab Sunnah dengan sanad hasan)

Putih yang dimaksud dengan putih bersih artinya ia adalah agama, millah dengan hujjah yang sangat terang-benderang, yang tidak ada padanya kesamaran. Maka itulah ajaran yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Di sini Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah meninggalkan kita diatas sesuatu yang putih bersih, masih murni, diatas hujjah-hujjah yang terang-benderang dan tidak ada padanya kesamaran. Malamnya bagaikan siangnya, artinya sudah jelas sekali. Tidak ada yang menyimpang darinya kecuali pasti binasa.

Berarti kewajiban kita adalah untuk senantiasa mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena Rasulullah sudah meninggalkan kita diatas hujjah yang sangat terang. Sehingga kita tidak butuh lagi kepada hujjah-hujjah yang lain. Kita tidak membutuhkan lagi -saudaraku sekalian- kepada filsafat manusia, kita tidak membutuhkan kepada ucapan-ucapan orang-orang barat sana, kepada para ahli-ahli kimia dan yang lainnya dalam masalah kebaikan dan keburukan, demikian pula dalam masalah agama, karena agama ini sudah lengkap, sudah sempurna.

Karena agama kita ini sudah lengkap, sudah sempurna, kita cukupkan dengan yang ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berupa Al-Qur’an dan berupa hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Maka siapa yang tidak merasa cukup dengan Al-Qur’an dan hadits dan apa yang dipahami oleh para sahabat dan merasa cukup dengan akal-akal manusia, dengan pendapat-pendapat manusia, pastilah mereka akan tersesat jalan. Sebagaimana kita lihat nasibnya para ahli kalam yang mereka lebih senang berbicara tentang agama dengan akal semata. Sehingga akhirnya apa yang terjadi? Mereka lebih mendewakan akalnya, lalu memahami Al-Qur’an dan hadits dengan dipaksa sesuai dengan akal-akal mereka. Demi Allah, ini adalah merupakan kebatilan.

Akal memang Allah ciptakan untuk manusia, tapi bukan untuk mengotak-atik dalil. Akal dijadikan oleh Allah untuk memahami dalil, bukan untuk menentang dalil, bukan untuk menjadikan akal lebih tinggi daripada dalil, bukan.

Maka kewajiban kita -sekali lagi- jangan mendahului Allah dan RasulNya. Allah mengatakan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّـهِ وَرَسُولِهِ…

Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian mendahului Allah dan RasulNya.” (QS. Al-Hujurat[49]: 1)

Kita tidak boleh mendahului Allah dan RasulNya.

Hadits ke-60

Suatu ketika ‘Amr bin Zurarah berkata:

وقف علي عبد الله يعني ابن مسعود وأنا أقص فقال يا عمرو لقد ابتدعت بدعة ضلالة أو إنك لأهدى من محمد وأصحابه فلقد رأيتهم تفرقوا عني حتى رأيت مكاني ما فيه أحد

“Suatu ketika aku sedang berkisah dan banyak yang mendengarkan, maka berdirilah ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, lalu ia berkata: ‘Hai ‘Amr, kamu sudah berbuat bid’ah dengan kebid’ahan yang sesat. Atau kamu ini lebih mendapatkan petunjuk dari petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya?’ Maka kata ‘Amr: ‘Orang-orang pun kemudian bepergian semuanya, sampai-sampai aku tinggal sendiri saja.`” (HR. Thabrani)

Subhanallah.. Apa yang dimaksud dengan berkisah? Yaitu kita mempunyai majelis khusus untuk kisah saja. Dan berkisah atau menjadi tukang berkisah bukankah perbuatan para Nabi. Para Nabi bukan tukang kisah, bukan tukang cerita. Demikian pula para sahabat pun bukan tukang cerita. Dan disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak boleh ada yang berkisah kecuali penguasa atau naibnya atau orang yang sombong.”

Maksudnya bagaiamana?

Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa ada seorang tabi’in berkata kepada ‘Umar bin Khathab: “Wahai ‘Umar, bolehkan aku berkisah?” Kata ‘Umar: “Aku khawatir kalau kamu berkisah lalu orang-orang banyak berkumpul di majelis kamu lalu kemudian kamu merasa tinggi sehingga akhirnya dengan perasaan kamu itu lah Allah binasakan kamu.”

MasyaAllah, saudaraku sekalian.. Berkisah bukan tidak boleh sama sekali. Bukankah dalam Al-Qur’an pun ada kisah para Nabi? Bukankah juga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terkadang sesekali mengisahkan tentang orang-orang sebelum kita?

Namun yang tidak dibenarkan adalah seseorang memposisikan dirinya sebagai tukang kisah. Isinya hanya berkisah, berkisah, berkisah, karena orang yang kalau hanya sebatas cerita, ini biasanya akan menjerumuskan kepada cerita-cerita yang tidak benar.

Sebagaimana kita lihat di zaman sekarang, orang akhirnya membuka cerita-cerita yang ternyata isinya dusta. Dan yang namanya manusia paling suka kepada cerita dan kisah. Manusia kalau mendengar kisah-kisah dan cerita-cerita itu pasti akan banyak senang, akhirnya mereka berkumpul. Akibatnya mereka lebih menyukai majelis cerita daripada majelis ilmu.

Makanya ini termasuk menutup pintu yang akan bisa menjerumuskan kepada perkara yang tidak benar. Karena jiwa manusia lebih condong kepada kisah, kepada cerita, apalagi kalau misalnya yang membawakan cerita itu membawakannya dengan sesuatu yang membuat kita asik dengannya. Sehingga yang terjadi berpalinglah manusia dari mempelajari Al-Qur’an, mempelajari hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan mereka kemudian lebih senang dengan kisah dan cerita.

Ini yang dikhawatirkan, kecuali kalau cerita-cerita itu mengandung fiqih, mengandung hukum-hukum yang sangat bermanfaat sekali.

Bagaimana penjelasan selanjutnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/49382-larangan-banyak-berkisah-dan-meningalkan-sunnah/